Friday, May 9, 2014

CERPEN " AKU MENCINTAIMU IBU"



AKU MENYAYANGIMU IBU






Suatu ketika seorang bayi siap untuk dilahirkan ke dunia.Menjelang diturunkan, dia bertanya kepada Tuhan, “Para malaikat di sini mengatakan bahwa besok Engkau akan mengirimku ke dunia. Dan saya berpikir, bagaimana cara saya hidup disana, saya begitu kecil dan lemah, kata bayi.”
Tuhan menjawab, “Iya, AKU akan mengirimmu ke dunia dan aku telah memilih satu malaikat untukmu, ia akan menjaga dan mengasihimu.”
“Tapi apa yang saya lakukan di surgahanyalah bernyanyi dan tertawa, ini cukup bagi saya untuk bahagia”, demikian kata si bayi.
Tuhan pun menjawab, “Malaikatmu akan bernyanyi dan tersenyum untukmu setiap hari, dan kamu akan merasakan kehangatan cintanya sehingga kamu akan menjadi lebih berbahagia.”
Si bayi pun bertanya kembali “Dan apa yang dapat saya lakukan saat saya ingin berbicara kepada-Mu?”
Kembali Tuhan menjawab, “Malaikatmu akan mengajarkan bagaimana cara kamu berdoa.”
Si bayi pun masih belum puas, ia pun bertanya lagi, “Saya mendengar bahwa di bumi banyak orang jahat, siapa yang akan melindungi saya?”
Dengan penuh kesabaran, Tuhan pun menjawab, “Malaikatmu akan melindungimu dengan taruhan jiwanya sekalipun”
Si bayi pun tetap belum puas, dan melanjutkan bicaranya, “Tapi saya akan bersedih karena tidak melihat Engkau lagi”
Dan Tuhan pun menjawab, “Malaikatmu akan menceritakan kepadamu tentang AKU dan akan mengajarkan bagaimana agar kamu bisa kembali kepada-KU, walaupun sesungguhnya AKU selalu berada di sisimu”
Saat itu surga begitu tenangnya, sehingga suara dari bumi dapat terdengar dan sang anak dengan suara lirih bertanya, “Tuhan, jika saya harus pergi sekarang, bisakah Engkau memberitahusiapa nama malaikat di rumahku nanti?’’
Tuhan pun menjawab, “Kamu dapat memanggil malaikatmu ‘IBU’.”
***
Suatu ketika di hari Jum’at, langit sore tampak begitu jingga dengan berpayung awan yang cerah. Semilir angin dari pepohonan hijau nan asri di sebuah rumah mungil yang sederhana itu ikut membelai lembut seorang perempuan paruh baya yang tengah menikmati kegiatan menyulam. Tiba-tiba, dari pekarangan rumah yang cukup luas muncul seorang anak laki-laki dengan perawakan tinggi tegap dan terdengar ucapan salam.
“Assalamualaikum, Bu”, sapa anak laki-laki itu sembari mencium tangan ibunya.
“Waalaikumussalam, Alhamdulillah kau sudah pulang, Nak!, jawab ibunya.
“Iya, Bu. Hari ini, ada kegiatan tertentu di tempat kerja sehingga para karyawan diperbolehkan pulang lebih awal dari hari biasanya.Oh iya saya izin membersihkan diri dulu ya Bu”, ujar laki-laki itu seraya menepis peluh di keningnya.
“Iya, silakan..Nak.Ibu juga sudah selesai menyulamnya. Mari kita ke dalam, sebentar lagi menjelang maghrib”, sambung ibunya.
***
Ba’da maghrib, ibu dan anak itu mengaji bersama. Kemudian Ibu bertanya kepadaku, “Nak, kau tahu apa arti dari namamu itu?”
Akupun menggeleng, sambil menunggu perkataan ibu berikutnya.
Kemudian ibu pun melanjutkan perkataannya “Ayah dan Ibu begitu berharap memiliki seorang anak yang mampu menghapal al-qur’an oleh karena itu kami sepakat memberikan nama Al-Hafidz dan selain itu kami pun ingin melihat anak kami tumbuh menjadi seseorang yang penuh dengan kemuliaan dan kebaikan maka kami berikan nama Fadhil jadilah nama utuh itu berupa Fadhil Al-Hafidz”, ujar ibuku dengan raut wajah begitu sumringah disertai tatapan meneduhkan.
“Subhanalloh, nama yang begitu penuh makna. InsyaAlloh, semoga aku mampu mewujudkan cita-cita mulia ayah dan ibu berupa seorang hafidz qur’an”, sahutku dengan penuh optimis.
“Aamiin Ya Robbal’alamiin”, aku dan ibu secara bersama-sama mengaminkan.
“Oh iya, Nak.adzan isya telah berkumandang. Mari kita persiapan untuk melaksanakan sholat isya,” ujar ibu
Aku pun menganggukkan kepala seraya tersenyum menyambut ajakan beliau.
Beberapa saat kemudian, setelah selesai melaksanakan shalat maghribdan isya serta dilanjut makan malam, ibu dan anak itu terlihat sedang berbincang-bincang santai di ruang tamu yang merangkap sekaligus sebagai ruang kumpul keluarga.Semenjak kepergian seorang kepala rumahtangga, mereka memutuskan untuk menetap di sebuah rumah kontrakan sederhana. Rumah peninggalan ayahnya kini telah beralih ke tangan orang lain. Rumah itu meninggalkan banyak kenangan tetapi karena untuk  mengurusi biaya pengobatan ayahnya dengan terpaksa mereka merelakan menjual rumah tersebut. Namun, ternyata takdir berkata bahwa seorang laki-laki yang merupakan kepala rumahtangga itu harus terlebih dahulu dipanggil Sang Khalik.Sejak itulah, pemuda yang kini berusia kepala dua itu hanya tinggal bersama ibunya.Selagi masih hidup, dia berusaha semampunya mempersembahkan yang terbaik untuk membahagiakan ibunya.
Secara tiba-tiba, seakan mengalihkan pembicaraan yang awalnya hanya sekedar obrolan ringan anak laki-laki itu perlahan membelai dan mencium tangan ibunya seraya mengucapkan  “maafkan aku, Bu. Sampai sejauh ini, sebagai anak aku belum mampu  membahagiakan ibu”,
“Anakku, jangan bicara seperti itu. Ibu sudah merasa lebih bahagia dengan adanya kamu di hidup ibu.Selama ini, kau selalu menemani ibu di masa-masa senja ibu.Melihatmu dalam keadaan sehat wal-afiat saja ibu sudah merasa sangat bahagia, karena itu yang ibu harapkan”, tak terasa bulir airmata keluar dari mata sayu ibu.
“Terima kasih, Bu. Engkau begitu sabar menghadapi aku yang terkadang begitu menyusahkanmu ataupun sekedar membuat hatimu kesal,” ujar anaknya.
“Nak, jika kelak nanti Ibu telah tiada, jaga dirimu baik-baik ya.dimanapun engkau berada, ingatlah selalu Allah di hatimu. Dialah sebaik-baik pelindung dan penolong dalam setiap perjalanan hidupmu”.
“Bu, aku belum siap hidup tanpa ibu. Setelah Ayah terlebih dahulu meninggalkanku, aku ingin lebih mampu menjaga Ibu. Jangan bilang seperti itu ya, Bu. Dan insyaAlloh saya akan berusaha menjaga dan menunaikan nasihat ibu.
“Anakku sayang, segala sesuatu itu ada masanya. Tak usah kau hiraukan kematian, karena kelak kau juga akan menghadapinya. Ibu rasa, kau telah cukup dewasa untuk memahami kehidupan ini. Dan engkau tak kan sendiri, ada Alloh yang selalu membersamaimu selalu, Nak!
Namun, beberapa saat kemudian sebelum aku membalas ucapan ibuku.Tiba-tiba, secara perlahan beliau tak sadarkan diri.Aku benar-benar bingung, sebelumnya aku lihat ibu baik-baik saja tapi entah mengapa beliau langsung terkulai lemah seperti ini.aku pun segera membawa beliau ke Rumah Sakit. Tiba di sana, aku menunggu beberapa saat untuk mengetahui hasil diagnosis dokter terhadap ibuku. Pikiranku begitu kalut saat ini, hanya mampu berdoa dan berharap yang terbaik untuk keadaan ibuku.
Tak lama kemudian, seorang laki-laki berkostum putih yang rambutnya tampak sedikit beruban dengan stetoskop yang dikalungkan menghampiriku.Raut mukanya tampak seolah-olah menyembunyikan sesuatu.Aku penasaran dengan sikapnya.
“Dok, bagaimana keadaan ibu saya?” ujar anak laki-laki itu.
“Nak Fadhil, sebagai tim medis yang bertanggungjawab terhadap keadaan ibumu kami sudah berusaha semampunya untuk memberikan penanganan terbaik terhadap beliau akan  tetapi Alloh lebih sayang kepada ibu nak Fadhil sehingga beliau tak bisa terselamatkan. Yang sabar ya, Nak.doakn selalu yang terbaik untuk kebaikan ibumu di sana!
“Memang beliau sakit apa, Dok? Selama ini saya merasa kalau kondisi kesehatan ibu saya baik-baik saja,” ucap Fadhil dengan nada lirih.
“Beliau mengidap leukemia, sejenis penyakit kanker darah yang begitu membahayakan kesehatannya.Justru saya juga baru bisa mendeteksi kalau ternyata sistem kekebalan tubuh beliau mampu bertahan selama beberapa tahun melawan serangan penyakit itu dan secara perlahan penyakit itu menjalar ke seluruh organ tubuhnya sehingga lama kelamaan daya tahan tubuh beliau sudah begitu lemah,” sambung dokter itu.
Antara samar-samar dan jelas mendengar perkataan dokter tersebut, seketika aku tak bisa beranjak dari tempatku berdiri. Aku tidak tahu apa yang harus aku perbuat, bingung bercampur aduk menjadi satu. Dokter itu pun sudah berlalu meninggalkan ruangan dimana aku diam mematung beberapa saat.Aku hanya mampu berkata dalam hati bahwa “Aku telah kehilangan Malaikat terbaikku, Ya Robb”
***
Keesokan harinya di pemakaman begitu banyak orang menyaksikan kepergian ibuku.Setelah proses pemakaman selesai, satu persatu mereka mulai meninggalkan area pemakaman ini. Dan yang kini tinggal adalah aku dan juga ada seorang teman baikku yang menemani.
“Dhil, ayo kita segera pergi.Langit sudah mendung, tak baik juga berlama-lama di sini”, ujar temannya.
Namun, Fadhil diam tidak menjawab.
“Sabar Fadhil, semoga Alloh mengkaruniakan kekuatan & keikhlasan bagimu.Dan janganlah berlarut dalam duka yang berkepanjangan”, sambung temannya.
Akhirnya, dengan suara yang lembut, Fadhil menjawab,
“Apakah alasanku untuk tidak berduka, padahal masih banyak aku berhutang kebaikan padanya.Seandainya batu karang lautan dihitung tidaklah sebanyak jumlahnya dengan jasa yang telah diukir ibuku pada hidupku.Darahku adalah darah dari ibuku, dan dagingku adalah daging dari ibuku. Kepandaianku berasal dari air susu ibuku. Langkah kakiku berasal dari nasihat ibuku. Cita-citaku adalah doa dari ibuku. Namun, disinilah kemudian ibuku berbaring, dengan segala kebahagiaan dan pengorbanannya, kini aku hanya mampu menyentuh nisannya.”
Mendengar jawaban Fadhil, temannya itu terenyuh di dalam perasaan yang sama. Dan tiba-tiba dia menyodorkan sesuatu kepada Fadhil, “Ini aku temukan di meja depan rumahmu”
Fadhil memperhatikan sejenak apa yang diberikan temannya itu, dia tak kuasa menahan air mata ketika melihat benda itu. Benda hasil karya ibunya, kain sulam bertuliskan kaligrafi.
Sambil menggenggam erat karya peninggalan ibunya tersebut seraya meninggalkan pemakaman itu, dalam hati Fadhil berkata “Ya Alloh, jadikan doa-doaku menjadi cahaya penerang kubur orangtuaku.”

No comments:

Post a Comment