AKU MENYAYANGIMU IBU
Suatu ketika seorang
bayi siap untuk dilahirkan ke dunia.Menjelang diturunkan, dia bertanya kepada
Tuhan, “Para malaikat di sini mengatakan
bahwa besok Engkau akan mengirimku ke dunia. Dan saya berpikir, bagaimana cara
saya hidup disana, saya begitu kecil dan lemah, kata bayi.”
Tuhan menjawab, “Iya, AKU akan mengirimmu ke dunia dan aku
telah memilih satu malaikat untukmu, ia akan menjaga dan mengasihimu.”
“Tapi
apa yang saya lakukan di surgahanyalah bernyanyi dan tertawa, ini cukup bagi
saya untuk bahagia”,
demikian kata si bayi.
Tuhan pun menjawab, “Malaikatmu akan bernyanyi dan tersenyum
untukmu setiap hari, dan kamu akan merasakan kehangatan cintanya sehingga kamu
akan menjadi lebih berbahagia.”
Si bayi pun bertanya kembali
“Dan apa yang dapat saya lakukan saat
saya ingin berbicara kepada-Mu?”
Kembali Tuhan
menjawab, “Malaikatmu akan mengajarkan
bagaimana cara kamu berdoa.”
Si bayi pun masih
belum puas, ia pun bertanya lagi, “Saya
mendengar bahwa di bumi banyak orang jahat, siapa yang akan melindungi saya?”
Dengan penuh
kesabaran, Tuhan pun menjawab, “Malaikatmu
akan melindungimu dengan taruhan jiwanya sekalipun”
Si bayi pun tetap
belum puas, dan melanjutkan bicaranya, “Tapi
saya akan bersedih karena tidak melihat Engkau lagi”
Dan Tuhan pun
menjawab, “Malaikatmu akan menceritakan
kepadamu tentang AKU dan akan mengajarkan bagaimana agar kamu bisa kembali
kepada-KU, walaupun sesungguhnya AKU selalu berada di sisimu”
Saat itu surga begitu
tenangnya, sehingga suara dari bumi dapat terdengar dan sang anak dengan suara
lirih bertanya, “Tuhan, jika saya harus
pergi sekarang, bisakah Engkau memberitahusiapa nama malaikat di rumahku
nanti?’’
Tuhan pun menjawab, “Kamu dapat memanggil malaikatmu ‘IBU’.”
***
Suatu ketika di hari
Jum’at, langit sore tampak begitu jingga dengan berpayung awan yang cerah.
Semilir angin dari pepohonan hijau nan asri di sebuah rumah mungil yang
sederhana itu ikut membelai lembut seorang perempuan paruh baya yang tengah
menikmati kegiatan menyulam. Tiba-tiba, dari pekarangan rumah yang cukup luas muncul
seorang anak laki-laki dengan perawakan tinggi tegap dan terdengar ucapan
salam.
“Assalamualaikum, Bu”,
sapa anak laki-laki itu sembari mencium tangan ibunya.
“Waalaikumussalam, Alhamdulillah kau sudah pulang,
Nak!, jawab ibunya.
“Iya, Bu. Hari ini, ada kegiatan tertentu di tempat
kerja sehingga para karyawan diperbolehkan pulang lebih awal dari hari biasanya.Oh
iya saya izin membersihkan diri dulu ya Bu”, ujar laki-laki itu seraya menepis
peluh di keningnya.
“Iya, silakan..Nak.Ibu juga sudah selesai
menyulamnya. Mari kita ke dalam, sebentar lagi menjelang maghrib”, sambung
ibunya.
***
Ba’da maghrib, ibu dan
anak itu mengaji bersama. Kemudian Ibu bertanya kepadaku, “Nak, kau tahu apa
arti dari namamu itu?”
Akupun menggeleng,
sambil menunggu perkataan ibu berikutnya.
Kemudian ibu pun
melanjutkan perkataannya “Ayah dan Ibu begitu berharap memiliki seorang anak
yang mampu menghapal al-qur’an oleh karena itu kami sepakat memberikan nama
Al-Hafidz dan selain itu kami pun ingin melihat anak kami tumbuh menjadi
seseorang yang penuh dengan kemuliaan dan kebaikan maka kami berikan nama
Fadhil jadilah nama utuh itu berupa Fadhil Al-Hafidz”, ujar ibuku dengan raut
wajah begitu sumringah disertai tatapan meneduhkan.
“Subhanalloh, nama yang begitu penuh makna.
InsyaAlloh, semoga aku mampu mewujudkan cita-cita mulia ayah dan ibu berupa
seorang hafidz qur’an”, sahutku dengan penuh optimis.
“Aamiin Ya Robbal’alamiin”, aku dan ibu secara
bersama-sama mengaminkan.
“Oh iya, Nak.adzan isya telah berkumandang. Mari
kita persiapan untuk melaksanakan sholat isya,” ujar ibu
Aku pun menganggukkan kepala seraya tersenyum
menyambut ajakan beliau.
Beberapa saat
kemudian, setelah selesai melaksanakan shalat maghribdan isya serta dilanjut
makan malam, ibu dan anak itu terlihat sedang berbincang-bincang santai di
ruang tamu yang merangkap sekaligus sebagai ruang kumpul keluarga.Semenjak
kepergian seorang kepala rumahtangga, mereka memutuskan untuk menetap di sebuah
rumah kontrakan sederhana. Rumah peninggalan ayahnya kini telah beralih ke
tangan orang lain. Rumah itu meninggalkan banyak kenangan tetapi karena
untuk mengurusi biaya pengobatan ayahnya
dengan terpaksa mereka merelakan menjual rumah tersebut. Namun, ternyata takdir
berkata bahwa seorang laki-laki yang merupakan kepala rumahtangga itu harus
terlebih dahulu dipanggil Sang Khalik.Sejak itulah, pemuda yang kini berusia
kepala dua itu hanya tinggal bersama ibunya.Selagi masih hidup, dia berusaha
semampunya mempersembahkan yang terbaik untuk membahagiakan ibunya.
Secara tiba-tiba, seakan mengalihkan pembicaraan
yang awalnya hanya sekedar obrolan ringan anak laki-laki itu perlahan membelai
dan mencium tangan ibunya seraya mengucapkan
“maafkan aku, Bu. Sampai sejauh ini, sebagai anak aku belum mampu membahagiakan ibu”,
“Anakku, jangan bicara seperti itu. Ibu sudah merasa lebih bahagia dengan adanya kamu di hidup ibu.Selama ini, kau selalu menemani ibu di masa-masa senja ibu.Melihatmu dalam keadaan sehat wal-afiat saja ibu sudah merasa sangat bahagia, karena itu yang ibu harapkan”, tak terasa bulir airmata keluar dari mata sayu ibu.
“Terima kasih, Bu. Engkau begitu sabar menghadapi aku yang terkadang begitu menyusahkanmu ataupun sekedar membuat hatimu kesal,” ujar anaknya.
“Nak, jika kelak nanti Ibu telah tiada, jaga dirimu baik-baik ya.dimanapun engkau berada, ingatlah selalu Allah di hatimu. Dialah sebaik-baik pelindung dan penolong dalam setiap perjalanan hidupmu”.
“Bu, aku belum siap hidup tanpa ibu. Setelah Ayah terlebih dahulu meninggalkanku, aku ingin lebih mampu menjaga Ibu. Jangan bilang seperti itu ya, Bu. Dan insyaAlloh saya akan berusaha menjaga dan menunaikan nasihat ibu.
“Anakku sayang, segala sesuatu itu ada masanya. Tak usah kau hiraukan kematian, karena kelak kau juga akan menghadapinya. Ibu rasa, kau telah cukup dewasa untuk memahami kehidupan ini. Dan engkau tak kan sendiri, ada Alloh yang selalu membersamaimu selalu, Nak!
“Anakku, jangan bicara seperti itu. Ibu sudah merasa lebih bahagia dengan adanya kamu di hidup ibu.Selama ini, kau selalu menemani ibu di masa-masa senja ibu.Melihatmu dalam keadaan sehat wal-afiat saja ibu sudah merasa sangat bahagia, karena itu yang ibu harapkan”, tak terasa bulir airmata keluar dari mata sayu ibu.
“Terima kasih, Bu. Engkau begitu sabar menghadapi aku yang terkadang begitu menyusahkanmu ataupun sekedar membuat hatimu kesal,” ujar anaknya.
“Nak, jika kelak nanti Ibu telah tiada, jaga dirimu baik-baik ya.dimanapun engkau berada, ingatlah selalu Allah di hatimu. Dialah sebaik-baik pelindung dan penolong dalam setiap perjalanan hidupmu”.
“Bu, aku belum siap hidup tanpa ibu. Setelah Ayah terlebih dahulu meninggalkanku, aku ingin lebih mampu menjaga Ibu. Jangan bilang seperti itu ya, Bu. Dan insyaAlloh saya akan berusaha menjaga dan menunaikan nasihat ibu.
“Anakku sayang, segala sesuatu itu ada masanya. Tak usah kau hiraukan kematian, karena kelak kau juga akan menghadapinya. Ibu rasa, kau telah cukup dewasa untuk memahami kehidupan ini. Dan engkau tak kan sendiri, ada Alloh yang selalu membersamaimu selalu, Nak!
Namun, beberapa saat kemudian sebelum aku membalas
ucapan ibuku.Tiba-tiba, secara perlahan beliau tak sadarkan diri.Aku
benar-benar bingung, sebelumnya aku lihat ibu baik-baik saja tapi entah mengapa
beliau langsung terkulai lemah seperti ini.aku pun segera membawa beliau ke
Rumah Sakit. Tiba di sana, aku menunggu beberapa saat untuk mengetahui hasil diagnosis
dokter terhadap ibuku. Pikiranku begitu kalut saat ini, hanya mampu berdoa dan
berharap yang terbaik untuk keadaan ibuku.
Tak lama kemudian, seorang laki-laki berkostum putih
yang rambutnya tampak sedikit beruban dengan stetoskop yang dikalungkan
menghampiriku.Raut mukanya tampak seolah-olah menyembunyikan sesuatu.Aku
penasaran dengan sikapnya.
“Dok, bagaimana keadaan ibu saya?” ujar anak
laki-laki itu.
“Nak Fadhil, sebagai tim medis yang bertanggungjawab
terhadap keadaan ibumu kami sudah berusaha semampunya untuk memberikan
penanganan terbaik terhadap beliau akan
tetapi Alloh lebih sayang kepada ibu nak Fadhil sehingga beliau tak bisa
terselamatkan. Yang sabar ya, Nak.doakn selalu yang terbaik untuk kebaikan
ibumu di sana!
“Memang beliau sakit apa, Dok? Selama ini saya
merasa kalau kondisi kesehatan ibu saya baik-baik saja,” ucap Fadhil dengan
nada lirih.
“Beliau mengidap leukemia, sejenis penyakit kanker
darah yang begitu membahayakan kesehatannya.Justru saya juga baru bisa
mendeteksi kalau ternyata sistem kekebalan tubuh beliau mampu bertahan selama
beberapa tahun melawan serangan penyakit itu dan secara perlahan penyakit itu
menjalar ke seluruh organ tubuhnya sehingga lama kelamaan daya tahan tubuh
beliau sudah begitu lemah,” sambung dokter itu.
Antara samar-samar dan jelas mendengar perkataan
dokter tersebut, seketika aku tak bisa beranjak dari tempatku berdiri. Aku
tidak tahu apa yang harus aku perbuat, bingung bercampur aduk menjadi satu. Dokter
itu pun sudah berlalu meninggalkan ruangan dimana aku diam mematung beberapa
saat.Aku hanya mampu berkata dalam hati bahwa “Aku telah kehilangan Malaikat
terbaikku, Ya Robb”
***
Keesokan harinya di
pemakaman begitu banyak orang menyaksikan kepergian ibuku.Setelah proses
pemakaman selesai, satu persatu mereka mulai meninggalkan area pemakaman ini. Dan
yang kini tinggal adalah aku dan juga ada seorang teman baikku yang menemani.
“Dhil, ayo kita segera
pergi.Langit sudah mendung, tak baik juga berlama-lama di sini”, ujar temannya.
Namun, Fadhil diam
tidak menjawab.
“Sabar Fadhil, semoga
Alloh mengkaruniakan kekuatan & keikhlasan bagimu.Dan janganlah berlarut
dalam duka yang berkepanjangan”, sambung temannya.
Akhirnya, dengan suara
yang lembut, Fadhil menjawab,
“Apakah alasanku untuk
tidak berduka, padahal masih banyak aku berhutang kebaikan padanya.Seandainya
batu karang lautan dihitung tidaklah sebanyak jumlahnya dengan jasa yang telah
diukir ibuku pada hidupku.Darahku adalah darah dari ibuku, dan dagingku adalah
daging dari ibuku. Kepandaianku berasal dari air susu ibuku. Langkah kakiku
berasal dari nasihat ibuku. Cita-citaku adalah doa dari ibuku. Namun, disinilah
kemudian ibuku berbaring, dengan segala kebahagiaan dan pengorbanannya, kini
aku hanya mampu menyentuh nisannya.”
Mendengar jawaban
Fadhil, temannya itu terenyuh di dalam perasaan yang sama. Dan tiba-tiba dia
menyodorkan sesuatu kepada Fadhil, “Ini aku temukan di meja depan rumahmu”
Fadhil memperhatikan
sejenak apa yang diberikan temannya itu, dia tak kuasa menahan air mata ketika
melihat benda itu. Benda hasil karya ibunya, kain sulam bertuliskan kaligrafi.
Sambil menggenggam
erat karya peninggalan ibunya tersebut seraya meninggalkan pemakaman itu, dalam
hati Fadhil berkata “Ya Alloh, jadikan
doa-doaku menjadi cahaya penerang kubur orangtuaku.”